Mawar Biru

Nicky Raysa de Tania
4 min readJul 24, 2022

--

Jangan mengobrak-abrik masa lalu, kata mereka. Tapi aku tidak tahan untuk menumpahkan semua memori yang sedang mengalir deras di kepalaku. Kupasang timer tiga puluh menit, itu cukup untuk mengukur sampai kilometer berapa aku boleh membiarkan diriku tenggelam dalam pikiran-pikiran yang sudah berulang kali kukatakan pada diriku sendiri untuk tidak usah lagi memikirkannya.

Tapi, dia datang lagi. Ingatan itu. Dan kali ini aku tidak berusaha menyangkalnya, maka aku membiarkan diriku menikmati perasaan aneh tapi yang entah kenapa, nyaman ini. Udara begitu dingin walau ini musim kemarau. Kakiku yang tidak pernah kubiarkan bertelanjang ria ini melengkung bak udang menciut membentuk huruf C saat digoreng di minyak panas. Aku rasa sudah berlalu bertahun-tahun yang lalu, sejak terakhir kali aku makan indomie rasa soto sementara dia rasa kari ayam di warung depan sekolah. Waktu itu, hari-hari yang indah dan walaupun seperti nggak mungkin untuk mengatakan hal ini karena kala itu kami masih remaja labil berusia lima belas tahun; aku tidak pernah merasa dicintai sampai sebegitunya oleh seseorang. Sampai sekarang. Percaya? Kalau tidak percaya juga tidak apa.

Sekali lagi, apa yang paling sering dikata orang jangan dilakukan, itulah yang kulakukan. Hobiku adalah mengobrak-abrik masa lalu. Mungkin kalau ada olimpiadenya, aku akan jadi atlet mengobrak-abrik masa lalu yang profesional.

Aku sangat ingat itu semua karena aku dulu amat sangat mencintainya. Tapi sayangnya, aku yang masih remaja dan takut ketahuan pacaran itu.. memilih untuk membiarkan dia yang lebih mencintaiku ketimbang aku mencintainya.

Dia tau kalau aku suka bunga. Oh ya, aku sering menabung uang jajanku untuk membeli seikat bunga segar walau uang jajanku tergolong sedikit dan aku tahu dalam seminggu bunga-bunga itu akan mengering lantas siap nangkring di tong sampah.

Tapi, tidak apa. Aku tetap suka. Dia sudah tanya, aku paling suka bunga apa. Lalu aku jawab,

“Mawar biru.”

Besoknya aku dengar dari temanku, kalau dia jungkir-balik pontang-panting sana-sini nyari toko bunga yang punya mawar biru. Dia tanya ke semua orang di kelasnya, sih, jadi ketahuan dia bucin a.k.a. budak cinta. Kala itu, toko bunga yang nyediain mawar biru masih jarang, dan dia harus naik angkot ganti beberapa kali untuk pergi ke toko bunga itu. Boro-boro pesan online, kala itu bahkan gojek belum ada.

Aku begitu tau, langsung melarang dia.

“Ngga usah, nanti ibu tanya, bunganya dari siapa. Aku gak mau bohong.”

.

“Tanpa kamu kasih bunga atau ini itu, aku tetap mencintaimu,”

Itu sebenarnya maksudku.

.

Namun ternyata dia salah paham; dia merasa aku tidak menghargai usahanya dan menganggap aku malu mengakui kalau dia adalah pacarku. Padahal sebenernya, aku hanya takut ketahuan sama ibu dan ketahuan kakak-kakakku yang malah belum pernah pacaran.

Barangkali dia lelah ya, digituin olehku. Padahal aku nggak bermaksud melukai hatinya. Setahun kemudian, kami berpisah. Kala dia pamit, aku tidak merasakan apa-apa. Aku hanya mengangguk dan merelakan semuanya berakhir. Tapi keesokan harinya, kala aku berpapasan dengannya di kantin saat hendak membeli roti bakar meses, dan melihat punggungnya berbalik dan sadar bahwa dia bukan lagi milikku, aku berlari ke toilet dan menangis. Aku mengikat suaraku erat-erat dan merasa sakit dan kehilangan. Oh ternyata ini yang dinamakan dengan patah hati. Rasanya lebih menyakitkan daripada belajar fisika mati-matian dan hanya mendapat nilai dua puluh. Aku benci perasaan itu dan berharap tidak pernah lagi mengalaminya. Tapi, aku tak pernah berusaha memperbaiki situasi itu. Usai menuntaskan sesi tangis dalam diam itu, aku kembali ke kelas dan menjalani hidupku seperti biasanya.

Beberapa bulan kemudian, aku dengar dari temanku dia sedang dekat dengan gadis manis nan pintar di kelasnya. Oh ya, aku tahu gadis itu. Dulu kami pernah ada di ekskul yang sama; ekskul basket. Tapi aku yang loyo dan sangat ga bisa olahraga ini memilih untuk keluar dari ekskul itu. Aku ingat, saat ada pertandingan basket sekolah, aku nonton sama dia yang dulu masih jadi pacarku, dan aku menunjuk gadis manis itu kala dia nge-shoot dengan lihainya.

.

“Aku rasa kamu itu sukanya sama yang kaya kaya gini deh..”

Dia bilang aku ngawur, dan bersikeras bahwa cuma ada aku di dunianya..

Tapi aku ternyata benar. Tiga bulan setelah kami putus, dia jadian dengan gadis manis itu. Aku tidak munafik, dia memang gadis yang manis. Dan saat satu sekolah gempar mendengar berita itu, salah satu temanku menunjukkan padaku unggahan momen manis itu di instagram saat istirahat sekolah.

Mawar biru.

Itu bunga yang ada di pelukan gadis manis bersama pacar barunya itu.

.

“Ooh.”

Aku hanya berkata begitu kepada temanku. Temanku lantas kesal dan mengejarku yang berjalan meninggalkannya.

“Kamu kok rela sih pacarmu diambil sama cewe kaya dia?”

Aku hanya diam. Iya, aku rela.

Tapi egoku terlalu tinggi sampai membuatku tak sanggup mengakui bahwa aku sesungguhnya sedih. Pulang sekolah aku yang sombong menganggap diriku sudah move on, menyadari adanya perubahan dalam diriku saat aku sedang memilih bunga di toko bunga langgananku; aku tidak lagi mengambil mawar biru.

Baiklah, itu sebenernya cerita dari lima tahun lalu. Dan memang, sampai hari ini aku belum pernah membeli mawar biru lagi.

Hmm. Ngomong-ngomong, dia masih bersama gadis manis itu.

Tapi sekarang aku bisa berkata, “syukurlah” dengan dada yang menghangat. Dulu aku berpikir, mungkin dia bukan yang tepat buatku. Tapi sekarang aku sadar, ternyata aku-lah yang bukan tepat untuk dia.

Timerku berbunyi, berbarengan dengan itu, ada panggilan masuk dari ibuku.

Oh ya, besok ada meja hijau menantiku. Ibu bertanya langsung saja seolah-olah tidak ingin berusaha untuk nge-surprise.

.

“Adek, mau bunga apa? Dan warna apa?”

.

Aku jawab,

“Mawar biru.”

--

--

Nicky Raysa de Tania
Nicky Raysa de Tania

Written by Nicky Raysa de Tania

an Indonesian Illustrator based in London, a Royal College of Art postgrad student.

No responses yet